Opini Atas Selera: Pemaknaan "Beauty Is In The Eye Of The Beholder"
Pernah ngga sih
kalian merasa kurang percaya diri untuk memberikan opini atas selera kalian?
Saat berinteraksi, seperti kumpul-kumpul bersama teman, seringkali kita dimintai pendapat mengenai sesuatu. Memang kadang hanya
untuk hal yang remeh dan umum, tapi ada aja moment ketika kita ngga tahu apakah itu
sesuatu yang buruk, baik, atau apapun untuk menjelaskan hal yang ditanyakan?
Sekalinya kalian memaksakan untuk memberi opini, ternyata justru gagal. Gagal
di sini maksudnya bisa jadi terbentuknya situasi yang awkward sehingga interaksi ngga berjalan dengan baik. Atau mungkin kalian punya definisi kegagalan yang lain?
Kalau kalian mengalami kejadian-kejadian kayak begitu,
berarti kita sama. Atau mungkin kalian justru mengalaminya beberapa kali? Then you’re not alone! Rasanya gimana? Kalau aku sih campur-campur antara malu dan menyesal yang bahkan bisa berujung overthinking. Meski bikin ngga nyaman, rangkaian peristiwa
yang ngga cuma sekali ini membawaku kepada pelajaran baru atas pemaknaan opini, terutama yang berdasarkan selera. Bisa dibilang pemaknaan atas kutipan “beauty is in the eye of the beholder”.
Opini dan Selera
Sebelum sampai ke pemakanann kutipannya, aku pengen memberi persepsi soal opini dan selera. Opini dalam KBBI
diartikan sebagai pikiran, pendapat, atau pendirian. Opini yang diungkapkan
juga bisa dilihat sebagai sebagai cara orang memandang sesuatu, meskipun apa yang
dikatakan tersebut belum tentu diyakininya. Nah, pada situasi-situasi tertentu seringkali opini itu
diberikan atas dasar selera atau kesukaan dan bukan pembacaan terhadap fakta. Misalnya ketika kita lebih milih genren musik pop ketimbang hard rock. Kebanyakan orang memang akan menjabarkan alasan-alasan mereka menyukainya yang mana sebenarnya menjadi selera mereka. Taste, just it.
Lalu, balik ke kasus situasi yang mana pemberian opini atas sesuatu justru menimbulkan situasi yang kurang nyaman. Meski begitu, kalian ngga tahu apa yang salah dari pendapat kalian. Sampai akhirnya titik temunya adalah karena selera kalian yang (dirasa) payah atau buruk.
Memang sih semisal hal ini terjadi bisa aja kita bersikap bodo amat karena ngga
semua orang harus setuju dengan pendapat kita. Tapi, bakal jadi hal beda kalau ada ketertarikan untuk menjalin hubungan lebih lanjut dan mendalam sama orang yang kita ajak berinteraksi. Saat itu juga bagiu "My opinion and taste are matters". Opini berdasarkan
selera yang dianggap buruk justru bisa menciutkan kepercayaan diri yang berujung
pada gagalnya tujuan menjalin hubungan yang diinginkan (walaupun ini
bukan satu-satunya faktor).
Apa Penyebab Seseorang Memiliki Selera yang
Buruk?
Menurut
pengalaman dan pengamatanku, ada beberapa hal yang membuat orang
(dianggap/menganggap) memiliki selera yang kurang bagus bahkan buruk. Selera
sendiri bukan serta merta tentang apa yang kita sukai, tapi juga turut dibangun
melalui konstruksi yang mendorong terciptanya konsesus. Meskipun begitu, aku
berusaha melihat faktor-faktor penyebab seseorang (dianggap/menganggap)
memiliki selera yang buruk dari peristiwa-peristiwa yang aku alami, dengan
hasil sebagai berikut:
- Sesederhana
karena ngga ngerti apapun tentang hal yang dibicarakan
Banyak banget hal di dunia ini untuk dipelajari. Kalau ngga ngerti banyak hal juga ngga apa-apa, walau ini bukan pembenaran untuk malas mempelajarinya. Akan tetapi, terkadang ada situasi-situasi yang memberi peluang atau bahkan memaksa kita memberi opini atas selera kita sekalipun ke hal yang kita ngga ngerti apapun tentangnya.
- Kurangnya referensi
Kalau ini sebenarnya udah ada pengetahuan dan pengalaman, cuma kurang banyak dan kurang bervariasi, atau juga karena minim referensi. Kenapa hal demikian bisa terjadi disebabkan karena kurangnya sumber daya atau rasa malas untuk mencari tahu lebih.
- Ngga tahu indikator sebagai tolok ukurnya
Nah,
kalau ini mungkin konteks dan situasinya itu pada sesuatu yang sudah memiliki
standar dengan memuat indikator-indikator tertentu sebagai tolok ukurnya.
Misalnya pameran seni yang karyanya harus melewati proses kurasi terlebih
dahulu.
Memaknai “Beauty Of The Eye Of The Beholder”
Untuk
sampai bisa memaknai kalimat “Beauty Of
The Eye Of The Beholder”-kecantikan ada di mata yang melihatnya- aku pun
butuh melakukan refleksi atas peristiwa-peristiwa yang membuatku
bertanya-tanya. Tentunya terbatas pada kejadian yang memang berkaitan erat
dengan selera. Misal, saat salah satu teman menanyakan pendapatku soal tiramissu slice yang aku beli waktu kami
makan bareng. Sampai sebelum hari itu tiba, aku cuma pernah makan tiramissu slice dari satu toko roti yang
menurutku cukup enak. Dan tiramissu slice
yang aku beli waktu makan bareng itu enak juga, bahkan lebih nikmat karena krimnya ada sedikit rasa gurih. Akan tetapi, temanku justru bilang, “Menurutku itu
biasa aja”. Atau saat aku merasa kutek pacar temenku bagus dan “just fine”
karena warnanya berbeda dari biasanya. Berbeda memang bukan berarti bagus,
meskipun saat itu menurutku memang bagus. Dia justru bersikukuh bilang kalau itu jelek.
Dan masih ada beberapa peristiwa lain yang membuatku berpikir, “That’s what I thought about. I wasn't lying. Still, they think
it’s not good, isn’t it?”. Hingga berujung pada, “mungkin seleraku yang
payah”.
Pada akhirnya kontemplasi akan ‘kecantikan
tergantung siapa yang melihat’ membawaku pada jawaban bahwa selera orang memang
berbeda-beda dan nggak papa kalau punya kita ngga sesuai mereka. Apalagi dengan
berbagai faktor yang membawa kita kepada suatu selera. Namun, tentu saja
pemaknaan atas ‘beauty is in the eye of
the beholder’ ngga boleh mematikan diskusi untuk perbaikan dalam aspek
apapun. Selain itu, balik lagi ke tujuan dan situasinya. Kalau memang masih
ingin menjalin interaksi lebih lanjut terhadap orang yang meminta opini atau
karena ingin memberikan penilaian yang lebih akurat, ya tanyakan indikatornya
dan buat persepsi yang sama. Dengan begitu mungkin akan ada titik temu melalui
penilaian yang lebih objekitf dan situasi awkward
bisa dihindari. Meskipun begitu, mengatakan sesuatu dengan jujur mengenai
selera kita juga bukanlah hal yang salah karena selera turut menciptakan
keunikan.
Komentar
Posting Komentar