Aku Hanya Ingin Menjadi Orang yang Bermanfaat


            Hari ini aku berumur 18 tahun, 4 bulan, dan 8 hari. Selama itu aku hidup, baru-baru saja ternyata aku bisa sedikit demi sedikit belajar memaknai apa arti hidup. Aku ngga tau apa yang dipikirkan setiap orang yang melewati masa ketika mereka berumur 18 tahun karena tentu aja tiap orang punya pengalaman berbeda yang membentuk dirinya sekarang. Namun, salah satu temanku pernah bilang kalau ketika manusia berada di usia 18-20 tahun, mereka akan merasa khawatir walaupun tidak tahu apa yang dikhawatirkan. Namun, memang benar aku mengalaminya dan aku terus menerus questioning everything.

            Ketika aku menjadi murid baru SMA, aku sangat senang dan bersemangat. Orang yang menyukai spontanitas sepertiku tidak pernah membuat target atau tujuan mau ikut apa di SMA nanti, atau mau jadi orang yang seperti apa nanti. Meski begitu, aku punya satu mimpi sedari SMP kelas 9, "di manapun sekolahnya, aku mau ikut teater!" Nyatanya di kelas 10, aku berhasil mewujudkannya. Dan diriku yang tidak memiliki impian lebih ini, justru mendapat lebih dari apa yang aku mau. Padahal, sejujurnya aku pun tahu aku ini bukan orang yang memiliki visi misi kuat, inovasi hebat, bahkan terus bertanya apa aku punya bakat. Segala kepercayaan telah aku laksanakan semaksimal mungkin, meski juga banyak mengeluh. Well, who doesn’t like to complain about things in life, right ? Selama itu aku ngga pernah peduli apa kata orang yang merendahkanku, pokoknya aku menjalankan tugasku. Namun, ada satu hal di SMA yang tiap kali hal itu terjadi selalu membuat diriku merasa kecil dan lemah, yakni upacara. Kenapa ? Seringkali setiap upacara bendera, SMA-ku selalu mengumumkan berbagai prestasi yang diraih yang mana orang-orang hebat peraih prestasi itu akan dipanggil namanya. Ketika hal itu terjadi, aku akan menenangkan diriku dan berkata dalam hati bahwa aku juga melakukan hal hebat. Aku telah melakukannya.

            Cerita sebenarnya dimulai ketika aku masuk perkuliahan. Aku merasa orang-orang di sekitarku sangat hebat, berbakat dan penuh percaya diri. They have a lot of amazing things. Aku terus menerus berpikir, mau kaya gimana diriku ini. Aku ngga punya apa-apa to be proud of. Karena pada kenyataannya, aku juga ditolak beberapa kali di suatu hal yang aku inginkan. Hal-hal seperti ini yang semakin lama membuatku terus menerus berpikir ‘gimana nih pandangan orang-orang ke aku yang payah ini ?’ Ngga cuma itu. Ketika aku ngomong ngga lancar di depan banyak orang, aku khawatir. Ketika aku ngga berbicara sesuai dengan apa yang diinginkan lawan bicara, aku khawatir. Ketika aku berbeda pandangan atau selera dengan orang lain, aku khawatir. Ketika kalah argumen saat mendebatkan sesuatu, aku khawatir. Aku selalu khawatir dan hidupku ngga tenang.

            Aku menyukai diriku sebagai night thinker. Karenanya kalau malam datang, aku bakal membuka mata dan berusaha membuka pikiranku. Kali ini aku memikirkan kenapa semenjak aku kuliah aku terus menerus merasa khawatir. Aku masih sering bertanya namun mungkin jawabannya adalah bahwa Septiana Noor Malinda ini lupa tujuan hidup. Lupa kalau tujuan hidup itu untuk beribadah, untuk menebar manfaat bagi sesama, untuk menolong, untuk saling mengingatkan, untuk saling mengasihi dan menyayangi. Namun, pada kenyataannya aku hanya peduli pandangan manusia terhadapku. Aku tidak peduli apakah yang kulakukan sudah tepat dan bermanfaat, karena yang menjadi fokus hanya pandangan manusia terhadapku itu baik. Padahal hidup bukan cuma tentang aku, aku, dan diriku. Namun, hidup itu tentang sesama. Seseorang yang baru saja kukenal berkata padaku bahwa "ngga papa kok  kalau orang-orang  ngga tau sebesar apa komitmen yang dibuat dan usaha yang dilakukan. Asalkan mereka mendapat manfaatnya" Terdengar naif ? Ngga juga. Karena seringkali orang itu bahagia bukan karena semua hal baik menimpa dirinya, tapi karena melihat orang bahagia sebagai hasil usahanya. Sedikit flashback, ternyata aku pernah melakukan itu dan memang bahagia. Aku masih inget betapa kepenginnya aku buat bersandiwara di panggung. Tapi, aku terus-terusan jadi pemusik yang main karawitan. Aku memang ngga jadi pemain dan aku ngga sedih karena aku telah memberi sedikit manfaat untuk setiap pertunjukkan. Aku ngga pernah menyesal. Mulai sekarang dan seterusnya, mindset yang dulunya hanya soal ’pandangan orang terhadap diriku’ sudah bergeser menjadi ‘kebermanfaatanku terhadap dunia’.

Jadi, sudahkah kamu bermanfaat untuk dunia ? Tell me your story, people !

Komentar

Postingan Populer